Cowongan, Ritual Meminta Hujan di Banyumas yang Menggunakan Batok Kelapa Nan Cantik Jelita
[ad_1]
Masyarakat Banyumas memiliki budaya dan tradisi yang masih langgeng hingga saat ini. Seperti yang diketahui, Banyumas menjadi salah satu kawasan di Jawa Tengah yang mencatatkan panjangnya perjalanan kesenian, tradisi, dan budaya rakyat yang sempat mencapai puncak pada tahun 1980-an.
Beberapa tradisi dan budaya di Banyumas tersebut resistan dengan perkembangan zaman dan tetap bertahan. Salah satu tradisi masyarakat Banyumas yang masih bertahan hingga saat ini adalah tradisi Cowongan.
Tradisi Cowongan adalah tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Banyumas – termasuk Cilacap – dengan tujuan untuk meminta hujan.
Biasanya, ritual ini dilakukan karena kemarau terjadi cukup lama sehingga menyebabkan masyarakat kesulitan mendapatkan air. Akibatnya, tidak hanya kebutuhan manusia yang tidak tercukupi, tanaman para petani juga turut terdampak dan berpotensi gagal panen.
Sama-Sama di Jateng, Ini Beda Mitos Antara Watu Manten yang di Klaten dan Karanganyar
Asal Usul Ritual Cowongan
Konon, menurut cerita yang berkembang di masyarakat, tradisi Cowongan bermula dari sebuah usaha seseorang yang tirakat memohon agar hujan turun. Usaha tersebut dilakukan oleh pasangan suami istri bernama Ki Jayaraga dan Nyi Jayaraga. Keduanya melakukan tirakat selama 40 hari 40 malam.
Setelah usaha tersebut selesai dilakukan, keduanya mendapat semacam wangsit yang menyuruh mereka untuk mengambil siwur – gayung yang terbuat dari tempurung kelapa – di salah satu rumah warga yang di dalamnya terdapat tiga orang janda.
Setelah keduanya melakukan perintah itu, siwur tersebut kemudian berbicara kepada Nyi Jayaraga dan meminta agar didandani seperti wanita, serta dipanggil dengan nama Nini Cowong. Siwur tersebut yang bernama Nini Cowong itu meminta Ki Jayaraga dan istrinya untuk menggoyang-goyangkan sambil menyanyikan lagu “Siwur Tukung”.
Legenda Watu Dodol, Batu yang Berdiri Kokoh di Tengah Jalan Situbondo – Banyuwangi
Saat lagu selesai dinyanyikan, ada bunyi petir yang sangat keras kemudian turun hujan selama tujuh hari tujuh malam
Dari cerita inilah muncul tradisi Cowongan yang pelaksanaannya menggunakan siwur atau irus dan dihias sedimikian cantik menyerupai putri.
Oleh karena itu, Cowongan berasal dari kata “cowang coweng” yang artinya corat coret di wajah cowong, sebuah boneka yang digunakan dalam ritual ini.
Proses Panjang Pengukuhan Ammatoa, Ketua Adat Suku Kajang yang Dipilih Oleh Tuhan
Pelaksanaan Cowongan
Hal yang menarik dari pelaksanaan Cowongan adalah bahwa pelaku tradisi cowongan merupakan wanita yang dalam keadaan suci. Artinya, ia tidak sedang haid, nifas, atau tidak baru saja usai melakukan hubungan seksual. Wanita ini, yang biasanya berjumlah empat orang berperan sebagai penari.
Selain penari, ada pula peran lain yang turut andil dalam ritual ini, di antaranya pawang dan cowong itu sendiri. Pawang berperan sebagai kunci utama dan mengatur jalannya ritual Cowongan. Sebab, pawang lebih paham dengan mantra-mantra yang akan diucapkan.
Sebelum melaksanakan Cowongan, sang pawang beserta cowong biasanya akan bersemedi atau bermeditasi selama tiga hari di tempat-tempat sepi. Hal ini bertujuan agar cowong sebagai media untuk berinteraksi dengan makhluk halus dapat berfungsi dengan baik.
Tradisi Methik Pari, Bentuk Merayu dan Mempersunting Dewi Sri Sebelum Masa Panen Padi
Waktu Pelaksanaan Cowongan
Ritual Cowongan biasanya dilaksanakan pada akhir masa kapat. Masa kapat merupakan akhir dari musim kemarau. Dalam pranata mangsa sistem kalender petani Jawa, masa kapat berlangsung mulai dari 18 September hingga 12 Oktober.
Dalam pelaksanaannya, Cowongan dilakukan pada hitungan ganjil, seperti 1 kali, 3 kali, 5 kali, dan 7 kali. Apabila Cowongan telah dilaksanakan satu kali tetapi belum turun hujan, Cowongan akan dilaksakan dalam 3 kali, dan seterusnya hingga terjadi hujan.
Ritual Cowongan ini biasanya digelar pada malam hari, tepatnya selepas waktu salat isya dan selesai sekitar pukul 22.00 atau jam 10 malam.
Ritual Cowongan dilakukan dengan para peraga yang menyanyikan sebuah tembang yang sesungguhnya merupakan doa-doa.
Dilansir dari laman Pemkab Cilacap, saat ini pelaksanaan tradisi cowongan tidak hanya berfungsi sebagai ritual yang suci, namun juga telah diadaptasi menjadi kesenian khas yang dikolaborasikan dengan gerak dan lagu, lengkap dengan iringannya.
Mitos Air Terjun Sedudo Nganjuk, Kandaskan Hubungan hingga Lancarkan Karier Politik
Referensi:
Ernita Putri Andini & Widya Putri Ryolita. 2023. “Nilai-Nilai Yang Terkandung Dalam Tradisi Cowongan Salah Satu Kearifan Lokal Banyumas Yang Masih Populer”. JURNAL BAHASA, SASTRA, DAN BUDAYAI. Vol. 12, No. 3, Hlm. 37-46.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News
[ad_2]
Source link
Tinggalkan Balasan