Gaung Keadilan Iklim dari dari Para Peneliti Indonesia dan Dunia
[ad_1]
Konferensi TAKESNA, sebuah panggung kolaborasi yang mempertemukan para pemangku kepentingan dari Tunisia, Indonesia, dan jaringan Voices for Just Climate Action (VAC), baru saja usai digelar di Tunis, ibukota Tunisia. Pertemuan internasional ini menjadi ajang bertemunya beragam pihak – mulai dari pejabat pemerintah, tokoh masyarakat sipil, akademisi, hingga aktivis iklim – yang bersatu padu menghadapi tantangan perubahan iklim yang kian mendesak. Dengan semangat menguatkan suara-suara yang sering terpinggirkan dan mendorong solusi yang berkeadilan, TAKESNA berfungsi sebagai wadah berbagi pengetahuan, merancang strategi, dan menjalin aksi kolaboratif.
“Tak Ada yang Tertinggal”: Keadilan Iklim dan Kearifan Lokal sebagai Pondasi
Ada satu pesan utama yang terus bergema di sepanjang konferensi: keadilan iklim menuntut agar tak satu pun terabaikan. Dr. Moh. Taqiuddin, dosen senior di Universitas Mataram dan Direktur KONSEPSI, menyampaikan, “Keadilan iklim berarti tidak ada yang tertinggal; kita harus mengangkat kelompok-kelompok yang kurang terwakili dan komunitas rentan dalam suara dan tindakan kita untuk mewujudkan masyarakat yang tangguh di masa depan.” Ia mengajak semua pihak untuk memanfaatkan kekayaan pengetahuan lokal, mengingat “keadilan iklim membutuhkan wawasan lokal sebagai terobosan potensial—mari kita gabungkan pengetahuan kolektif kita untuk menciptakan perubahan transformatif.”
Komunitas Pesisir: Suara dari Garda Terdepan Krisis Iklim
Sementara itu, Yuni Setyaningsih, dosen Studi Pembangunan di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) dan Penasihat Komunikasi dan Pialang Pengetahuan untuk C4ledger (Consortium for Knowledge Management Brokers), menyambut seruan inklusivitas ini. Setyaningsih menyoroti perjuangan komunitas pesisir yang berhadapan langsung dengan dampak perubahan iklim yang semakin parah, seperti naiknya permukaan air laut, badai yang kian dahsyat, dan kekeringan yang berkepanjangan.
“Keadilan iklim bukan hanya tentang menyelamatkan planet ini,” tegasnya, “tetapi juga tentang memastikan setiap komunitas, terutama komunitas pesisir…memiliki hak untuk hidup sejahtera dan didengar dalam proses pembuatan kebijakan.” Ia menjelaskan peran C4ledger dalam menjembatani dunia penelitian ilmiah dengan realitas komunitas lokal, memfasilitasi dialog, dan memastikan strategi iklim disusun berdasarkan kondisi di lapangan.
Indonesia di Panggung Dunia: Menawarkan Solusi Iklim Berbasis Kearifan Lokal
Indonesia memiliki peran yang sangat strategis dalam isu perubahan iklim global. Sebagai negara kepulauan di garis khatulistiwa dengan jutaan penduduk yang bergantung pada sektor pertanian, Indonesia rentan terhadap dampak perubahan iklim. Namun, di sisi lain, Indonesia juga memiliki kekayaan pengetahuan dan kearifan lokal yang dapat menjadi solusi bagi permasalahan iklim global.
Di konferensi TAKESNA, para pakar Indonesia tampil mengungkapkan potensi Indonesia dalam mengatasi perubahan iklim. Yuni Setyaningsih, misalnya, menjelaskan bagaimana C4ledger, melalui program VAC di Indonesia, berperan sebagai jembatan antara penelitian ilmiah dan komunitas lokal, memastikan strategi iklim disusun berdasarkan pengetahuan lokal dan disesuaikan dengan tantangan yang dihadapi masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi pemimpin dalam aksi iklim global, dengan menawarkan model pendekatan yang inklusif dan berbasis komunitas.
“Tepati Janjimu”: Desakan untuk Para Pemimpin Global
Urgensi aksi iklim juga disampaikan oleh Philip Kilonzo, Kepala Kebijakan, Advokasi dan Komunikasi di Pan African Climate Justice Alliance (Kenya). Kilonzo memimpin kampanye “Keep Your Promise” (Tepati Janjimu), yang diluncurkan setelah COP27 untuk menuntut pertanggungjawaban para pemimpin politik atas komitmen iklim mereka. Ia menyerukan perubahan paradigma dalam pendanaan iklim, menuntut pendanaan berbasis hibah yang ambisius yang memprioritaskan adaptasi dan transisi cepat dari bahan bakar fosil. “Kita membutuhkan triliunan, bukan miliaran, untuk menanggapi krisis iklim,” tegas Kilonzo, menekankan ketidakcukupan tingkat pendanaan saat ini dan pentingnya solidaritas global.
Jurnalisme: Memperkuat Suara untuk Keadilan Iklim
Sementara itu, Febrilia Ekawati, Direktur Eksekutif Yayasan Konservasi Way Seputih (YKWS), menekankan peran krusial jurnalisme dalam memperjuangkan keadilan iklim dan perubahan perilaku. “Jurnalisme menjadi alat penting untuk advokasi dan perubahan perilaku,” ujarnya, menjelaskan kemampuan jurnalis dalam menyebarkan informasi, memperkuat suara-suara lokal, dan mempengaruhi kebijakan. Ekawati mendesak para jurnalis untuk “menyuarakan yang tidak bersuara” dan memastikan solusi iklim yang adil dan inklusif.
Menjaga Paru-paru Dunia
Di sisi lain, Adriano Maneo, spesialis komunikasi dari Instituto Internacional de Educação do Brasil (IEB) dan pakar Manajemen Pengetahuan di VAC, menambahkan perspektif penting tentang peran hutan dalam mitigasi perubahan iklim. Maneo menyoroti kondisi di Brasil, di mana deforestasi menjadi penyumbang utama emisi. Ia menekankan peran vital masyarakat adat dan komunitas tradisional dalam menjaga kelestarian hutan, serta perlunya mendukung dan memberdayakan organisasi akar rumput dalam upaya melindungi wilayah dan mengelola lahan secara berkelanjutan.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News
[ad_2]
Source link
Tinggalkan Balasan