[ad_1]

Banyumas menjadi salah satu daerah di Jawa Tengah yang memiliki cerita dan sejarah cukup panjang perihal kesenian. Konon, kesenian di kawasan Banyumas yang dikenal bergairah dan vulgar, mampu berkembang dengan pesat dan mencapai puncak popularitas di tahun 1980. Salah satunya adalah kesenian lengger dengan alat musik khasnya, calung.

Calung yang dimiliki oleh Banyumas jelas berbeda dengan calung yang ada di Sunda. Perbedaan ini terletak pada jenis calung, cara memainkan, dan laras nada antarkeduanya. Tidak hanya itu, perlakuan dalam proses pembuatan calung Banyumasan juga berbeda dan cukup istimewa.

Calung merupakan alat musik yang terbuat dari potongan bambu yang diletakkan melintang dan dimainkan dengan cara dipukul. Perangkat musik khas Banyumasan yang terbuat dari bambu wulung ini mirip dengan gamelan Jawa.

Nono Mardiono, Seniman yang Ciptakan Wayang Madio Asal Nganjuk Jawa Timur

Hadi Sumarto Sukendar, Seniman Pengrajin Calung di Banyumas

Hadi Sumarto Sukendar merupakan salah satu sosok maestro yang berperan besar menciptakan calung berkualitas di Banyumas. Ia telah mencintai dan mendalami calung lebih dari 40 tahun lamanya. Bahkan, Sukendar memiliki grup calung “Langen Budaya” sejak tahun 1977.

Sebagai sosok yang hampir setengah abad hidup berdampingan dengan calung, Sukendar paham benar mengenai kriteria serta cara membuat calung yang berkualitas.

Proses pembuatannya cukup panjang. Setidaknya membutuhkan sekitar 5 bulan.

Semangat Mbah Saring, dari Tukang Kebun Kini Jadi “Juru Kunci” Perpustakaan hingga Dosen

Calung banyumasan khusus dibuat dari bambu wulung atau bambu yang berwarna hitam. Biasanya, Sukendar terlebih dahulu memotong bambu kemudian di-pracali menggunakan golok.

Setelah itu itu, Sukendar melakukan pemilihan jenis bambu yang sesuai kriteria. Bambu yang akan dibuat menjadi calung, harus menghasilkan suara “kemlunthung”. Biasanya, Sukendar menyebutnya sebagai bambu yang sudah melung.

“Kalau belum pas, suaranya masih ‘thek thek’. Itu belum bunyi ‘kemlunthung’,” jelas Sukendar, sebagaimana dikutip dari video Asep Triyatno yang diikutsertakan dalam Lomba Rekam Maestro oleh GNFI X Kemendikbud.

Proses pracali dan menemukan bambu melung inilah yang menjadi dasar penamaan calung.

Sebab. calung banyumasan merupakan alat musik yang masuk dalam kategori idiophone, yakni badan alat musik itu sendiri yang menjadi sumber bunyi.

Sosok Suswaningsih, PNS yang Berjuang Hidupkan Lahan Tandus di Gunungkidul

Waktu yang Tepat untuk Pembuatan Calung

Rupanya, proses pembuatan calung memiliki pakem-pakem tersendiri, utamanya perihal kapan waktu terbaik dalam pembuatan calung.

“Tidak sembarangan hari menebang bambunya,” tegas Sukendar.

Dalam proses pemotongan bambu, Sukendar harus berpedoman pada pranata mangsa atau sistem penanggalan yang digunakan dalam masyarakat Jawa.

Ia mengungkapkan bahwa waktu terbaik untuk menebang bambu adalah saat mangsa tua atau bulan ke tujuh hingga ke 12. Sebab, pada waktu itu, bambu sangat jarang untuk diserang hama.

Kasrin Endro Prayono, Maestro Pemahat Batu dari Magelang

“Aman. Itu bambunya bagus untuk membuat calung,” imbuh Sukendar.

Sementara itu, pada mangsa muda, yakni musim pertama hingga keenam, hama di bambu cukup banyak.

Dilansir dari Sudiawan dalam skripsinya, ketentuan penebangan bambu ini berkaitan dengan tingkat kekeringan bambu. Pada bulan-bulan di mangsa tua, bambu memiliki kandungan kanji yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan beberapa bulan yang lain.

“Waktu memotong yang baik benar adalah subuh pada saat bulan tua (seperempat terakhir sebelum bulan gelap) karena batang bambu paling kering,” imbuhnya.

Mak Normah, Maestro Kepulauan Riau yang Gigih Mewariskan Kesenian Mak Yong

Selain berpatokan pada bulan, Sukendar juga menambahkan bahwa hari baik untuk penebangan bambu adalah hari yang memiliki pasaran pahing dan pon. Akan tetapi, ketentuan ini juga memiliki pengecualian khusus hari Sabtu Pon.

“Tapi jangan menebang di hari Sabtu pon, karena meskipun di mangsa tua, kalau bambu ditebang di hari itu, bambu nanti bisa terkena bubuk,” terangnya.

Setelah ditebang, bambu kemudian dihaluskan dan disimpan di tempat yang teduh dalam kurun waktu 4-5 bulan. Setelah 4 bulan, bambu tersebut dipotong menjadi dua ruas atau empat ruas.

Fatonah, Maestro dari Sukapura yang Belajar Batik Secara Diam-Diam

Calung Menjadi Jiwa dari Sukendar

Sukendar tidak hanya menjadi sosok yang lihai dalam membuat calung. Ia juga mampu memainkan calung dan kendang dengan sangat piawai. Oleh karena itu, selain dikenal sebagai maestro calung, Sukendar juga dikenal sebagai maestro kendang.

Calung telah menjadi bagian dari jiwa Sukendar. Ia mengungkapkan bahwa suara calung mampu membuat hatinya tenang dan tentram.

“Calung itu seperti nyawaku jadi saya kalau mendengar calung itu rasanya tenang. Jadi kalau saya mendnegar suara calung, seperti mendnegar suara hari sendiri,” tandasnya.

Maestro Sulawesi Tengah, Ina Tobani yang Langgengkan Pakaian Adat dari Kulit Kayu Pohon Beringin

 

 

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News



[ad_2]

Source link