ILUSTRASI. Konferensi COP29 yang berlangsung di Baku, Azerbaijan, menghadapi tantangan besar dalam menyepakati rencana pendanaan iklim global. REUTERS/Murad Sezer 

Sumber: Reuters | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Konferensi COP29 yang berlangsung di Baku, Azerbaijan, menghadapi tantangan besar dalam menyepakati rencana pendanaan iklim global.

Dengan rancangan kesepakatan yang menyerukan negara maju untuk memimpin pendanaan sebesar US$250 miliar per tahun hingga 2035, perdebatan sengit antara negara-negara berkembang dan maju terus memanas.

Usulan Target Pendanaan yang Mengundang Kritik

Rancangan pendanaan ini bertujuan membantu negara-negara berkembang menghadapi dampak perubahan iklim. Namun, angka tersebut memicu kritik dari berbagai pihak:

  • Juan Carlos Monterrey Gomez, perwakilan Panama untuk perubahan iklim, menyebut jumlah itu terlalu rendah. “Seolah dunia maju ingin planet ini terbakar,” ujarnya dengan penuh frustrasi.
  • Di sisi lain, negosiator Eropa merasa angka tersebut terlalu tinggi dan kurang melibatkan lebih banyak negara dalam kontribusi pendanaan.

Baca Juga: Indonesia Perlu Pendanaan Iklim yang Lebih Adil di COP29

Negara-negara yang diharapkan menjadi kontributor utama termasuk Uni Eropa, AS, Inggris, Jepang, Kanada, dan Australia. Namun, rancangan ini mengundang kontribusi sukarela dari negara berkembang tanpa mengubah status mereka sebagai “negara berkembang” di bawah PBB—sebuah poin penting bagi negara seperti China dan Brasil.

Ambisi US$1,3 Triliun per Tahun

Rancangan tersebut juga mencantumkan target pendanaan lebih luas sebesar US$1,3 triliun per tahun dari berbagai sumber, baik publik maupun swasta, untuk mendukung upaya iklim global.

Namun, mencapai target ini bukanlah tugas mudah. Menurut para negosiator, kesenjangan antara komitmen pemerintah dan pendanaan swasta masih menjadi tantangan besar.

Tantangan Politik dan Ketidakpastian Global

Kemenangan Donald Trump dalam pemilu AS baru-baru ini menambah ketidakpastian.

Baca Juga: KTT G20 Brasil, Prabowo Ungkap Rencana Indonesia Bangun 75 GW Pembangkit EBT

Trump, yang dikenal skeptis terhadap perubahan iklim, berencana menarik AS dari upaya iklim internasional. Langkah ini dapat melemahkan komitmen negara-negara maju lainnya.

Negosiator dari negara-negara berkembang, seperti Bangladesh dan Fiji, menyerukan kesepakatan yang lebih ambisius.

Mereka menekankan pentingnya pendanaan yang cukup untuk menghadapi dampak perubahan iklim yang semakin parah, termasuk banjir, tanah longsor, dan kekeringan yang menghancurkan mata pencaharian jutaan orang.

Seruan Mendesak untuk Aksi Global

Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, memperingatkan bahwa kegagalan mencapai kesepakatan bukanlah pilihan.

Baca Juga: PLN Teken Lima Kerja Sama Strategis di COP29 Azerbaijan

Ia menekankan perlunya dorongan besar untuk mencapai konsensus di tengah tahun terpanas yang pernah tercatat, yang telah menyebabkan bencana alam di berbagai belahan dunia. Dampak Perubahan Iklim yang Mengerikan:

  • Afrika: Banjir besar telah merenggut ribuan nyawa.
  • Asia: Tanah longsor memusnahkan desa-desa.
  • Amerika Selatan: Kekeringan menyusutkan sungai-sungai vital.
  • Eropa: Hujan deras memicu banjir mematikan, seperti di Valencia, Spanyol.
  • Amerika Serikat: Menghadapi 24 bencana bernilai miliaran dolar hanya dalam setahun.

Negosiator seperti Daniel Lund dari Fiji menyoroti kebutuhan pendanaan yang jauh lebih besar untuk menghadapi skala krisis iklim.

“Jumlah yang diajukan sangat kecil dibandingkan bukti kebutuhan yang ada,” ujarnya.