[ad_1]

Indonesia dikenal dengan budayanya yang beragam, mulai dari seni tari hingga tradisi lisan yang kaya. Proses penyampaian secara lisan sudah digunakan sejak dahulu untuk mewariskan budaya kepada generasi berikutnya, sebelum manusia mengenal tulisan.

Tahukah, Kawan? Penyampaian secara lisan dapat melalui cerita rakyat, nyanyian, kepercayaan, kearifan lokal, puisi, dan lain-lain (Irwanto, 2012).

Salah satu kekayaan tersebut adalah hahiwang, sebuah tradisi atau sastra lisan dari Palembang, Sumatra Selatan, yang kaya akan makna dan emosi.

Walaupun tidak sepopuler seni lainnya, hahiwang memiliki tempat tersendiri dalam budaya masyarakat Palembang, terutama di kalangan komunitas yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai tradisional.

Mengenal Hahiwang

Hahiwang adalah seni lisan khas yang dituturkan masyarakat Lampung, tepatnya di Kabupaten Pesisir Barat. Tradisi ini merupakan karya seni yang memiliki nuansa khas dalam penceritaannya, misalnya sebagai ungkapan rasa duka, kehilangan, atau kerinduan dari perseorangan atau kelompok.

Kata hahiwang sendiri berasal dari kata dasar hiwang yang berarti menangis, meratap, atau penyesalan (Gufron, 2017). Secara keseluruhan, hahiwang menggambarkan seni tutur yang menyuarakan isi hati dan perasaan dengan suara yang menyayat.

Tradisi ini bisa dibawakan dalam situasi formal dan nonformal. Di situasi formal, hahiwang biasanya muncul di upacara-upacara adat, sebagai pengantar acara, pelepasan mempelai wanita ke tempat pengantin pria, dan pelengkap acara cangget.

Sedangkan, dalam situasi nonformal, hahiwang dbawakan sebagai nyanyian untuk menidurkan anak hingga hiburan di waktu luang. Melodi dalam hahiwang memiliki nuansa sendu, dan syair-syairnya mengandung ungkapan hati yang penuh emosi.

Sejarah dan Asal Usul Hahiwang

Hahiwang sudah ada sejak zaman dahulu dan diwariskan secara turun-temurun dalam masyarakat Palembang. Menurut Hadikusuma (1996), perkembangan hahiwang dimulai dari masyarakat adat Saibatin/Peminggir, khususnya 16 Marga Pesisir Krui, dengan Bahasa Lampung.

Sebagai salah satu bentuk seni lisan, hahiwang memiliki fungsi penting sebagai media untuk mengekspresikan perasaan yang mungkin sulit disampaikan secara langsung.

Dahulu, hahiwang sering disampaikan atau dinyanyikan oleh kaum perempuan ketika mereka menghadapi situasi sulit, terutama terkait dengan perpisahan atau kematian.

Misalnya, ketika seorang suami harus pergi untuk waktu yang lama atau ketika keluarga kehilangan seorang anggota, hahiwang menjadi sarana untuk meresapi kesedihan bersama.

Tradisi ini bukan sekadar ungkapan kesedihan, tetapi juga mengandung nilai-nilai spiritual dan sosial yang mendalam. Dalam budaya Palembang, hahiwang mengajarkan pentingnya menghargai hubungan antarmanusia dan memahami bahwa perpisahan adalah bagian alami dari kehidupan.

Makna di Balik Syair Hahiwang

Syair-syair dalam hahiwang sering kali berisi cerita tentang kehidupan sehari-hari, harapan, dan kerinduan. Salah satu ciri khasnya adalah penggunaan metafora dan simbolisme yang menggambarkan kesedihan tanpa harus menyebutkannya secara eksplisit.

Sebagai contoh, sebuah syair hahiwang yang menggambarkan perahu yang hilang di tengah lautan, melambangkan seseorang yang pergi jauh dan tidak kembali. Ungkapan-ungkapan semacam ini memberikan ruang bagi pendengarnya untuk menafsirkan makna sesuai dengan perasaan mereka.

Meski terlihat sederhana, syair hahiwang juga memiliki lapisan makna yang mendalam. Seni ini mengajarkan kita tentang arti ketabahan, penerimaan, dan cara berdamai dengan perasaan kehilangan. Ini sekaligus menjadi pengingat akan kehidupan yang selalu berjalan di tengah kesedihan.

Terancam Punah di Tengah Modernisasi

Saat ini, hahiwang tengah berada di ambang kepunahan. Dengan jumlah penutur asli yang terus berkurang, bahasa yang digunakan dalam seni ini semakin jarang terdengar, terutama di kalangan generasi muda yang lebih memilih bahasa Indonesia dan dialek modern lainnya.

Mengutip dari gatra.com (2019), seorang Budayawan Lampung, Zulkarnain Zubaidiri, menyatakan hahiwangan rentan untuk punah karena bukan merupakan kesenian yang dapat dikemas dalam bentuk pertunjukan, melainkan ungkapan kesedihan yang bergantung pada pengguna bahasa di masyarakat.

Zulkarnain juga menekankan bahwa melestarikan hahiwang tidak cukup hanya dengan pengakuan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB). Namun, juga perlu melestarikan bahasa para penuturnya. Menurutnya, seiring dengan bertahannya Bahasa Lampung, hahiwang dan seni lisan lainnya juga akan tetap lestari.

Kawan GNFI, ada empat faktor penting yang memengaruhi keberlangsungan sebuah bahasa, yaitu berbicara, mendengar, menulis, dan membaca. Keempat faktor ini saling berhubungan erat satu sama lain, di mana saat tulisan dibaca, pasti ada yang mendengarnya.

Pelestarian seni lisan tidak hanya berfokus pada kesenian itu sendiri, tetapi juga pada faktor-faktor pendukungnya seperti penggunaan bahasa dalam keseharian.

Aksara Lampung, Mempertahankan Warisan Budaya di Perubahan Zaman

Kawan, hahiwang mungkin terlihat sederhana, tetapi pesan yang terkandung di dalamnya meliputi berbagai lapisan makna tentang kehidupan, perpisahan, dan hubungan antarmanusia.

Dari tradisi ini, kita dapat mengetahui betapa pentingnya kesenian dalam membantu kita memahami emosi terdalam, yang mana sering kali sulit diungkapkan dengan kata-kata.

Di era modern ini, di mana perasaan sering kali tertutupi oleh kesibukan, hahiwang mengajarkan kita untuk mengenal kembali budaya dan bahasa daerah, sekaligus memaknai kehidupan melalui seni lisan.

Sumber:

  • Bahasa daerah di Indonesia terancam punah | Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. (n.d.). Retrieved April 9, 2023, from https://lipi.go.id/lipimedia/139-bahasa-daerah-di-indonesia-terancam-punah/15938
  • Gufron, A. (2017). TRADISI LISAN HAHIWANG PADA PEREMPUAN DI PESISIR BARAT LAMPUNG. Patanjala Jurnal Penelitian Sejarah Dan Budaya, 9(3), 391.
  • Hadikusuma, Hilman. (1996). Adat Istiadat Daerah Lampung. Bandarlampung: Bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Daerah Lampung. 
  • Hahiwang Harong Nunas (M. Lawok, S. S, & G. Sesridha Alius, Trans.). (2021). [Pdf]. Kantor Bahasa Provinsi Lampung.
  • Irwanto, Dedi. (2012). Kendala dan Alternatif Penggunaan Tradisi Lisan dalam Penulisan Sejarah Lokal di Sumatera Selatan. Jurnal Forum Sosial, Volume V No. 2.
  • Karvarino. (2019, September 28). Hahiwang seni bertutur Lampung yang terancam punah. Milenial. https://www.gatra.com/news-447724-milenial-hahiwang-seni-bertutur–lampung-yang-terancam-punah.html

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News



[ad_2]

Source link