ILUSTRASI. Kepala junta Myanmar Jenderal Senior Min Aung Hlaing, yang menggulingkan pemerintah terpilih dalam kudeta pada 1 Februari 2021, memimpin parade militer pada Hari Angkatan Bersenjata di Naypyitaw, Myanmar, Sabtu (27/3/2021). Jaksa Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) akan mengajukan surat perintah penangkapan terhadap pemimpin militer Myanmar, Min Aung Hlaing.

Sumber: Reuters | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID – DEN HAAG . Jaksa Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) akan mengajukan surat perintah penangkapan terhadap pemimpin militer Myanmar, Min Aung Hlaing, atas dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam penganiayaan terhadap minoritas Rohingya.  

Pengumuman ini disampaikan pada Rabu (27/11/2024), namun juru bicara junta militer Myanmar belum memberikan tanggapan meski telah dihubungi oleh Reuters. Permintaan komentar juga telah diajukan melalui email kepada pemerintah militer Myanmar.  

Kampanye militer Myanmar yang dimulai pada Agustus 2017 memaksa sekitar satu juta warga Rohingya melarikan diri ke Bangladesh. 

Baca Juga: Jaksa ICC Akan Ajukan Surat Penangkapan Pemimpin Militer Myanmar Min Aung Hlaing

Penyelidik PBB menggambarkan operasi tersebut sebagai pembersihan etnis, di mana tentara, polisi, dan warga Buddha diduga menghancurkan desa-desa di Rakhine, menyiksa penduduk, serta melakukan pembunuhan dan pemerkosaan massal.  

Myanmar membantah tuduhan ini, menyatakan bahwa operasinya ditujukan untuk menghadapi militan yang menyerang pos polisi. Saat ini, lebih dari satu juta pengungsi Rohingya hidup di kamp-kamp di Bangladesh.  

Tun Khin, Presiden Burmese Rohingya Organisation UK, menyambut baik langkah ini. “Kami akhirnya mengambil langkah lain menuju keadilan dan akuntabilitas,” ujarnya.  

Sementara itu, Zin Mar Aung, Menteri Luar Negeri Pemerintahan Persatuan Nasional bayangan Myanmar, menyebut langkah ICC sebagai momen penting. “Ia harus bertanggung jawab penuh atas setiap kehidupan tak berdosa yang telah ia hancurkan,” tulisnya di media sosial.  

Baca Juga: Junta Militer Myanmar Buka Pintu Bantuan Asing Pasca Diterjang Topan Yagi

Panel hakim ICC kini akan memutuskan apakah ada “alasan yang masuk akal” untuk meyakini bahwa Min Aung Hlaing bertanggung jawab atas deportasi dan penganiayaan Rohingya. Proses ini biasanya memakan waktu sekitar tiga bulan.  

Langkah ini diambil di tengah kritik terhadap ICC, termasuk dari Washington, terkait surat perintah terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant.  

Penyelidikan ICC menghadapi tantangan, termasuk akses terbatas ke Myanmar yang kini berada dalam kekacauan setelah kudeta militer 2021. Penyelidik mengandalkan berbagai bukti seperti kesaksian saksi, dokumen, serta materi ilmiah, foto, dan video yang terverifikasi.  

Maria Elena Vignoli, penasihat hukum senior di Human Rights Watch, menyatakan, “Keputusan jaksa ICC merupakan langkah penting untuk memutus siklus pelanggaran dan impunitas yang telah berlangsung lama.”  

Baca Juga: Militer Myanmar Bantah Terjadi Kudeta Internal

Namun, ICC menghadapi tantangan dalam menangkap Min Aung Hlaing. Melanie O’Brien, profesor hukum internasional, menjelaskan, “Sebagai pemimpin militer yang jarang bepergian, ia kecil kemungkinan ditangkap di wilayah negara anggota ICC.”  

Dengan 124 negara anggota, ICC bergantung pada kerja sama negara untuk menegakkan surat perintahnya. Meski didukung Uni Eropa, Australia, Kanada, dan lainnya, kekuatan besar seperti AS, Rusia, Tiongkok, dan India belum menandatangani perjanjian ICC.